Senin, 20 Juni 2011

Mega Harapan




Mega Harapan

Sore hari ini langit cerah dan hangatnya matahari sangat bersahabat. Kecerian ini nampak jelas ini nampak jelas di wajah anak-anak yang berlarian di sawah yang baru saja dipanen padinya. Mereka berlari sambil menenteng tas kresek yang berisi satu buah buku dan satu pensil. Mereka baru saja pulang dari sekolah yang memang diadakan di waktu sore.

Mereka memang sekolah di waktu sore. Karena anak-anak ini setiap pagi selalu membantu ibunya bekerja baik itu di kebun ataupun membntu menjadi tukang cuci. Walaupun sebenarnya ini bukanlah sekolah yang standart nasional. Sekolah ini hanya sekedar mambantu mereka belajar membaca, menulis, dan berhitung. Setelah mereka bisa, mereka tidak melanjutkannya ketingkat yang lebih tinggi lagi. Orang tuanya pun seakan puas dengan semua yang mereka dapat tanpa menuntut lebih.

Biaya hidup yang sangat mahal menjadikan para orang tua enggan menyekolahkan anaknya ke tingkat yang lebih tinggi. Pikir mereka, uang untuk makan susah apalagi untuk biaya sekolah yang sangat mahal. “Bagi kami para orang tua yang penting mereka bisa baca, tulis, dan menghitung saja sudah lebih dari cukup” ujar para orang tua. Walaupun sebenarnya telah diadakan sekolah yang biayanya gratis mereka tetap enggan menyekolahkan anaknya. “ Dari pada sekolah mendingan kerja saja. Itu lebih pasti untuk mendapatkan uang” kata seorang ibu ketika ada program pencerdasan yang dilakukan dari kelurahan. Anak mereka pun mengiyakan apa yang dikatakan orang tuanya. Anak-anak itu telah mengenal uang sehingga mereka juga enggan untuk sekolah lagi.

Kelima anak itu pun akhirnya berhenti saling bekejaran.Mereka duduk.diatas jerami yang dibiarkan menumpuk di tanah yang baru saja dipanen saling membelakangi sehingga punggung mereka pun bertemu satu sama lain. Mereka duduk menikmati langit sore yang cerah.Sementara teman yang lainnya memilih untuk pulang ke rumah masing-masing.

“Wah buku punyaku udah mau abis” ucap Dodi sambil membolak-balikan bukunya yang hanya bersisa lima lembar halaman kosong saja.

“Aduh kamu ngapain juga nulis banyak-banyak jadikan buku punyamu cepat habis. Padahal kemarin barengan belinya sama aku” sahut Aldo memamerkan halaman buku yang masih banyak yang kosong dan terlihat rapi.

Dodi anak yang terkenal sebagi sosok yang selalu berusaha keras untuk belajar. Maka tak heran jika dialah yang paling sering mengganti buku catatan. Berbeda dengan Aldo yang hanya menulis sedikit saja. Jika disuruh menulis lima baris maka dia hanya akan menulis dua baris saja. Pengajarnya, Reni seorang wanita yang juga mengajar di SD negeri selalu bertanya “Kok setiap kali saya suruh kamu nulis hanya dua baris saja kamu buat?”. Aldo pun akan menjawab dengan santainya “Penghematan, Bu”.

“Iya, kerajinan nih padahal kamu dah bisa nulis” kata Tito menambahkan dengan cuek.

“Aku kan ingin jadi orang yang pintar makanya aku harus menulis dengan benar” jelas Dodi.

“Kita juga mau menjadi orang yang pintar seperti tokoh-tokoh yang sering diceritakan oleh guru kita”

“Siapa sih yang tokoh yang rambutnya kayak orang kesetrum itu ?” tanya Rian.

“Albert Einsteins” jawab Dodi.

“Ya bener. Al...Al...Albet Esten” ucap Rian.

“Albert Einteins” Dodi memperbaiki pelafalan temannya.

“Ya deh siapapun namanya. Susah menyebutkannya.”

“Ah... Aku tak tahu nama tokoh-tokoh yang kalian bilang pintar itu. Mereka mau nemuin penemuan apapun aku nggak peduli. Satu hal yang terpenting bagiku cuma bantu ibu dan bapak cari uang. Aku nggak tega melihat mereka selalu bersusah payah mencari uang untuk sesuap nasi di keluargaku” ucap Tito dengan wajah yang muram.” Mungkin setelah aku bisa baca dengan lancar aku akan pergi ke kota ikut bapak mencari uang”

“Kenapa harus bisa baca dulu? Emang penting ya?” tanya Aldo bingung.

“Bapak pernah ditipu gara-gara tidak bisa baca. Makanya aku akan ikut bapak ke kota biar tidak ada lagi yang menipu bapak” jawab Tito.

Sementara itu Dian, satu teman mereka hanya duduk dan menengadah ke atas langit biru dan sesekali dia melempar jerami. Dia tidak melibatkan diri dalam pembicaraan keempat temannya. Tak lama kemudian keempat temannya mengikuti apa yang dia lakukan.
Percakapan pun terhenti. Mereka menetap langit sore yang cerah yang mulai berganti dengan mega merah. Mega merah menyinari mereka. Tak lama kemudian terdengar suara adzan seiring berlalunya mega merah yang ada diatas langit.
***
Reni menyiapkan makan malam untuk suaminya dengan senang hati. Dia berusaha menjadi sesosok istri yang siap melayani suaminya. Sementara suaminya, Faruq masih membaca Al-Quran. Suara alunan ayat suci Al-Quran terdengar merdu. Kesejukan hati Reni pun datang bersamaan dengan bacaan yang dialunkan.

Reni dan suaminya merupakan pasangan baru saja menikah. Keduanya merupakan orang yang peduli dengan pendidikan anak. Reni mengajar di sebuah SD negeri dan juga di sebuah Rumah Didik yang dia bangun bersama temannya yang peduli dengan pendidikan. Sedangkan suaminya adalah seorang dosen muda di sebuah universitas swasta. Mereka berdua sengaja memilih tinggal di desa ini untuk mengajari anak-anak. Walaupun sebenarnya suaminya jarang untuk mengajari anak-anak itu karena terlalu sibuk dengan jadwalnya mengajar di universitas. Tapi hal itu tidak mengurangi semangatnya untuk terus mengajari anak-anak. Keduanya sepakat hal yang paling penting adalah pendidikan anak karena anaklah yang akan meneruskan perjuangan di masa yang akan datang.

Suara alunan ayat Al-Quran pun terhenti. Faruq merapihkan kembali perlengkapan sholatnya ke tempatnya. Dia pun menuju meja makan yang telah terhidang makan malam. Dia tersenyum melihat istinya yang begitu cantik.

“Terima kasih”

“Terima kasi untuk apa?” tanya Reni.

“Terima kasih untuk semuanya dan semua pengabdianmu sebagai istri yang baik” jawabnya seraya tersenyum.

“Itu sudah menjadi kewajibanku sebagai istri”

Lalu keduanya pun menikmati makan malam yang sudah tersiap di meja makan. Tak ada pembicaraan selama mereka makan. Suara binatang malam pun terdengar jelas mengiringi mereka makan. Tak heran terdengar suara binatang karena memang rumah mereka berada di sebelah sawah.

“Bagaimana mas mengajarnya hari ini?” tanya Reni setelah selesai makan.

“Baik. Tidak ada hambatan yang berarti untuk hari ini hanya saja saya sedikit risih dengan anak perempuan yang tidak berpakaian selayaknya untuk kuliah. Padahal dalam peaturan kampus sudah tercatat dengan jelas”

“Ya susah kali untuk mereka mengerti” Reni sedikit memperkecil suaranya.

“Terus bagaimana dengan ngajar anak-anak di Rumah Didik?”

Mind set mereka masih belum berubah. Saya kira mereka sudah sering mendapatkan
pemikiran yang salah dari orang tua mereka sehingga agak sedikit kuat pemikiran salah yang melekat pada diri mereka”

“Mungkin bukan salah juga. Kita juga harus lihat bagaimana posisi mereka sekarang. Jadi jangan terlalu cepat menyimpulkan. Kita harus terus coba lebih keras lagi dan ingat kamu juga harus sabar”

“Mas, ada beberapa anak yang saya kira mereka punya potensi dan kemauan yang tinggi. Tapi masalahanya kembali lagi pada mereka lagi”

“Maksudnya?”

“Ya, mereka tidak bisa menentukan pilihan meeka sendiri karena ada halangan dari orang tuanya”

“Kalau itu yang menjadi masalah kita bantu dan dukung mereka. Kita bisa datangkan seorang training motivator. Mungkin dengan begitu mereka dapat terpacu. Besok saya bantu kebetulan besok pulang agak cepat”

Reni pun tersenyum mendengara jawaban suami yang mau membantunya. Dia pun membereskan meja makan dan mencuci piring yang telah mereka gunakan.
***

Pagi-pagi sekali Dodi sudah bangun dan dia sudah siap-siap di depan tungku untuk mempersiapkan sarapan yang akan dibawa ke sawah. Sesekali dia meniupkan sosong supaya apinya tidak mati. Kepulan asap dan debu pun tak dapat dihindari mengenai mukanya. Namun baginya itu bukan menjadi suatu masalah karena sudah menjadi kebiasaanya di pagi hari.

Dodi seorang anak berusia 10 tahun yang lahir dari keluarga yang kurang mampu. Dia tinggal bersama ayah, ibu, dan adiknya. Kehidupan keluarganya begitu sederhana. Bahkan untuk biaya hidup sehari-hari pun masih penghasilan orang tuanya tidak mencukupi. Sehingga dia pun membantu orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Layaknya anak seumuran dia harusnya menyenaym pendidikan. Namun apa daya tidak ada biaya untuk sekolah.

Dia harus memendam perasaannya yang ingin merasakan bangku sekolah. Terkadang dia selalu datang ke sebuah sekolah dan mendengarkan dari luar apa yang meraka sedang pelajari. Banyak pengetahuan yang dia dapat selama mengikuti kelas.

Impiannya untuk bisa belajar sangatlah besar. Hingga ketika ada pembukaan Rumah Didik dia begitu antusias untuk mengikuti sekolah terbuka itu. Walaupun orang tuanya tidak menyetujui dia untuk masuk Rumah Didik. Satu hal yang orang tuanya khawatirkan yaitu masalah biaya. Namun, ketika mendapatkan kabar bahwa Rumah Didik tidak meminta biaya pendidikan orang tuanya pun memberikan izin. Tentu saja hal ini membuatnya sangat senang.

“Di, ibu pergi duluan ya” ucap ibunya yang sudah siap untuk ke sawah dengan membawa cangkul celurit.

“Oh iya bu. Nanti aku menyusul setelah membuat sarapan”

“Jangan lupa juga. Bangunkan adikmu jangan biarkan dia terkunci di rumah. Nanti dia marah lagi sama kamu”

“Iya, bu. Bu, ayahnya mana?”

“Ayahmu semalam lembur di tempat kerjanya. Dari pada pulang dia akhirnya tidur di tempat kerjanya”

“Kasihan ayah. Dia harus kerja keras.”

“Makanya kamu jangan macam-macam kasihan ayah mu. Sudah ya ibu pergi dulu”

“Ya bu, hati-hati. Assalamualaikum”

Ibu akhirnya pergi dengan membawa celurit yang biasa dia gunakan untuk memotong rumput. Wajahnya hari ini begitu berseri. Rasa capenya telah hilang dengan tidur yang cukup. Namun, hari ini dia akan letih kembali karena hari ini banyak yang harus dikerjakannya sampai sore. Hari ini jadwalnya bekerja di beberapa rumah yang memang menggunakan jasanya untuk membersihkan rumah mereka. Mengingat hal itu membuatnya menitikan air matanya. Sehingga tanpa dia sadari, kini dia menitikan air mata yang banyak. Isak tangisnya semakin keras.

“Kak, kenapa menangis?”

Tiba-tiba saja ada suara yang sedikit mengagetkannya. Dia pun sedikit terhentak dan buru-buru mengusap air matanya sebelum melihat orang yang membuatnya sedikit kaget. Dia pun menoleh dan dia melihat adiknya yang baru saja bangun tidur dengan rambut yang acak-acakan.

Fahmi, adiknya langsung tertawa melihat kakaknya.

“Nggak kok. Kakak nggak nangis hanya saja mata kakak sedikit pedih tadi kena asap” Dito langsung mengelak karena malu dilihat adiknya menangis.

Sementara adiknya masih saja tertawa. Dia heran melihat adaiknya yang masih saja menertawakannya. Dia kembali mengusap air mata yang masih terasa basah di pipinya. Namun, tertawa adiknya semakin tidak berhenti. Dia pun tamabahn bingung.

“Ada yang lucu?”

Adiknya masih saja tertawa.

“Fahmi, kenpa kamu terus menertawakan kakak? Ada yang salah dengan kakak?”

“Coba lihat di cermin” dia masih saja terkekeh.

Dito pun pergi untuk membawa cermin. Fahmi mengikuti langkahnya di belakang dan masih saja terkekeh-kekeh.

Setelah mendapati cermin, dia teriak. Dia mendapati wajahnya yang cemong. Dia pun langsung lari untuk memcuci muka cemongnya. Adiknya masih saja tertawa puas melihat kakanya yang cemong. Tawanya terhenti ketika mengingat kembali kenapa kakaknya menangis.
***

“Tito, hari ini tidak usah datang ke Rumah Didik. Kamu mesti bantu ayahmu. Dia hari ini mau pergi ke kota jadi kamu harus temani dia. Jangan samapi kita rugi lagi gara-gara bapakmu tidak bisa baca. Nanti dia ditipu habis-habisan.”

“Oh iya bu” turut Tito.

Tito anak yang baik dan tidak pernah melawan orang tuanya. Walaupun dia harus mengorbankan yang dia inginkan. Seperti saat dia disuruh untuk tidak masuk Rumah Didik sore ini. Hati kecilnya sebenarnya tidak mau untuk bolos untuk ke sekolah namun apa daya dia tidak mampu menolak keinginan ibunya. Demi ibunya dia akan melakukan apa saja walaupun itu menyakitkan baginya jika harus bolos sekolah.
Paradigma ibunya telah mempunyai anggapan bahwa sekolah tinggi-tinggi itu tidak penting bagi orang miskin seperti mereka. Sehingga ibunya tidak merasa punya kewajiban untuk memberi pendidikan untuk anaknya. Paradigama inilah yang ingin diubah oleh Reni dan suaminya.

Tito masih terdiam dan tangan asyik memainkan air sabun yang digunkan untuk membershkan sepeda tua bapaknya. Melihat anaknya terdiam, ibu hanya bisa menggeleng. Tak mengerti apa yang dia pikirkan.

“Kenapa? Lagi malas?” ibu mencoba untuk bertanya.

“Oh tidak, bu. Aku... Aku... hanya sedang melihat orang yang ada diseberang sana” jawabnya sedikit gagap.

Ibu pun melihat orang yang ditunjuk anaknya. Nampak dari jauh seorang yang berseragam putih merah dengan tas dan sepatu yang bagus. Ibu tak berkomentar apa-apa, dia langsung masuk ke dalam rumah.

“Andai aku bisa seperti itu. Tapi sudahlah, aku hanya anak miskin mana bisa sekolah dengan seragam dan sepatu yang bagus”

Dia pun bersiul dan melanjutkan pekerjaannya membersihkan sepeda tua milik bapaknya yang sudah tua. Sementara ibu yang mendengar ucapannya menitikkan air mata. Ada sakit yang menyentuh hatinya yaitu merasa tidak mampu membahagiakan buah hatinya itu.
***

“Lho kok hari ini yang masuk sedikit?Yang lainnya kemana?” tanya Faruq.
Aldo angkat tangan. Faruq menghampiri Aldo.

“Tito hari ini ikut bapaknya ke kota jualan dan baru balik lagi minggu depan” jawab Aldo.

“Terus yang lainnya?”

“Mereka kecapean kali, Pak. Soalnya tadikan ada panen juga lumayan sampei jam 3 baru selesai. Malahan tadi aku lihat Rian dan Dodi masih pada bantu orang tuanya” lanjut Aldo.

Faruq pun keluar kelas dan melihat ke daerah persawahan. Ya, banyak anak yang sedang membantu orang tuanya. Dia hanya menghela napas saja dan kembali masuk ke kelas.

“Ok. Walaupun teman kalian masih sedang membantu orang tuanya. Semoga mereka sempat untuk datang kesini ya. Sekarang kita lanjutkan perlajaran saja”

“Pak, kemana bu Reni?”

“Masih ada rapat ditempat ngajarnya jadi belum bisa datang. Sebagai gantinya saya gantikan dia. Tidak apa-apa kan?”

“Tidak apa-apa, Pak. Asal bapak juga baik seperti bu Reni”

Faruq hanya tersenyum.

Sesaat ketika akan memulai pelajaran datang Dodi dengan napas yang terengah-engah. Dia pun menghampiri Faruq yang sedang mencatat di papan tulis.

“Maaf pak terlambat”

Faruq hanya mempersilahkan dengan anggukan dan senyuman.

“Ok. Apa yang kalian baca dipapan tulis?” tanya Faruq.

“Cita-cita” jawab semua anak serempak.

“Apa itu cita-cita?” tanyanya kembali.

“Harapan”

“Keinginan”

“Mimpi”

“Kemauan”

“Cita-cita itu nyata bila digapai dengan sungguh-sungguh bukan hanya sekedar mimpi,
harapan atau keinginan. Dia nyata jika sungguh-sungguh” jawab Dodi.

Seisi kelas pun langsung terdiam dan tidak ada yang berkata lagi. Faruq memberikan tepuk tangan dan diikuti anak yang lainnya.

“Ya jawaban yang sangat bagus. Lalu apa cita-citamu?”

“Aku ingin menjadi seorang ilmuwan yang dapat memberikan manfaat atas penelitian yang ditemukannya layaknya Einsteins tentang teori relativitasnya” jawab Dodi lagi.

“Wow... apa itu? Kok bahasanya aneh?”

“Wah Dodi hebat. Aku saja tidak tahu siapa dia. Kamu tahu banyak ya”

Beberapa pujian pun terlontar kepadanya.

“Lantas apa cara yang akan kamu tempuh untuk mendapatkan cita-citamu?” tanya Faruq.

“Aku akan terus belajar apapun kondisiku sekarang. Meski aku miskin bukan berarti aku mau bodoh. Karena kemiskinan bukan menjadi penghalang untuk seseorang mendapatkan kesuksesannya. Karena semua ilmuwan yang ada berawal dari keterbatasan sehingga dia ingin mengubah hidupnya menjadi tak terbatas untuknya. Karena seseorang yang berusaha suatu hari akan diberi kemudahan untuk mendapat apa yang diinginkannya”

“Yah, benar sekali yang dikatakan oleh Dodi. Semua yang kita inginkn itu akan menjadi nyata jika kita berusaha untuk mendapatkannya. Banyak orang yang sukses di dunia ini berawal dari nol. Mereka berangkat dari ketebatasan namun setelah itu mereka mendapatkan kesuksesan. Hal ini membuktikn keterbatasan bukan penghalang tapi keterbatasan mereupakan pemicu untuk terus menjadi lebih baik dan berkarya. Bahwa kesuksesan bukan milik orang tertentu saja”

“Tapi Pak kita kan benar-benar orang miskin bagaimana bisa?” tanya Aldo.

“Kata siapa kalian miskin? Ingat kalian masih punya mata, tangan, kaki dan pikiran”

“Maksudnya?”

“Kalian masih punya mata yang dapat melihat, dengan bantuan mata kalian dapat mengamati semua yang ada di sini dan kalian dapat melihat keindahan yang ada di dunia. Kalian bisa menuangkan yang kalian lihat dalam sebuah gambar. Kalian punya tangan dan dapat digunakan untuk menulis dan belajar. Kalian punya kaki yang dapat digunakan untuk menuju ke tempat ini dan mendapatkan ilmu yang dapat menunjang kalian dalam kehidupan. Kalian punya pikiran atau akal sehingga kalian dapat memutuskan keputusan yang tepat memilih datang kesini untuk mendpat ilmu. Jadi kalian bukan oang yang tidak mampu kalian adalah orang yang mampu mengubah diri kalian sendiri dengan tekad yang kuat.

Banyak orang yang memiliki keterbatasan fisik tapi mereka tidak pernah putus asa.
Mereka selalu bersemangat. Karena bagi mereka keterbatasan bukan membuat diri semakin terbatas tapi membuat diri mereka tak terbatas untuk mengekspressikan segala apa yang ereka inginkan. Lakukan apa yang kalian mau lakukan. Lakukan dengan hati semua akan terasa lebih indah. Saya harap kalian tetap mendapatkan pendidikan yang layak nantinya karena bagi saya kalian adalah aset yang paling berharga untuk negara ini. Suatu hari nanti kalain yang akan berada disini menggantikan saya sebagai pengajar. Bisa saja kalian melebihi saya. Ada yang menjadi presiden, pengusaha, atau yang lainnya sehingga kalian dapat memajukan desa ini.

Kalian masih maukan melanjutkan sekolah disini?”

Semua anak terlihat ragu.

“Saya tanya sekali lagi. Apakah kalian amsih amu melanjutkan sekolah disini?”

“MAUUUUUUUUUUUUU.............”

“Tapi bagaimana dengan orang tua kami?”

“Yang terpenting bagi saya adalah kalian masih mau sekolah disini masah orang tua biar saya yang berbicara dengan orang tua kalian”
***

Hari minggu sore Faruq dan Reni pergi ke rumah mengunjungai setiap orang tua siswa yang belajar di Rumah Didik. Mereka bermaksud untuk memberikan pengertian tentang kepada orang tua siswa. Sehingga pemikiran meeka tidak sempit mengenai pendidikan.
Mereka mengunjungi dari satu rumah ke rumah. Namun, tak sedikit dari mereka yang mengerti akan pentingnya pndidikan walaupun mereka sudah berusaha untuk meyakinkan. Tak jarang mereka mendapat beberapa makian dari orang tua siswa.

“Tahu apa kalian tentang kehidupan dan pendidikan anak. Kalian saja merupakan pasangan baru bagaimana kalian menjelaskan pendidikan anak terhadap saya yang sudah merasakan kehidupan yang lebih lama” ucap salah seorang orang tua murid dengan nada sinisnya.

Ada pula yang menaggapi dengan santai dan cuek.

“Sudahlah kalian tida usah repot-repot membujuk kami. Bagi saya yang penting anak saya bisa baca juga cukup. Mungkin ini sudah takdir anak saya yang tidak beruntung”

Sore ini terasa lebih lelah dari biasanya. Reni memilih menghadapi anak-anak dari pada berhadapan dengan orang tua murid yang tidak mengerti keinginan anaknya untuk mendapat pendidikan. Faruq sebagai suami berusaha lebih bijak memberikan pengertian terhadap istrinya untuk memberi semangat.

Hari pun menjelang senja. Mereka mengakhiri kunjungan mereka ke rumah orang tua siswa. Selama perjalanan mereka masih membicarakan masalah anak didiknya yang masih belum bisa mendapat pendidikan yang layak.

“ Mungkin perjuangan kita masih panjang untuk memberikan pengertian pada orang tua murid. Sekarang yang terpenting adalah anak-anak itu mau untuk belajar. Nanti kita pikirkan jalan keluarnya. Yakinlah semua yang kita kerjakan hari ini suatu saat akan berbuah manis jika dilakukan dengan ikhlas”

Mereka pun berjalan menuju rumah mereka yang memang agak sedikit jauh dari rumah orang tua siswa. Sepanajang perjalanan merek masih membicarakan tindakana apa yang akan mereka lalukan selanjutnya. Mereka menyadari hal ini bukan sesuatu yang mudah untuk membeikan pengertian pada orang awam. Ini semua membutuhkan pendekatan yang intensif. Sehingga masyarakat dapat menerima dengan baik dan masyarakat tidak merasa digurui.

Sore pun semakin senja langit sudah menampakan mega merahnya. Cahaya merahnya memberikan satu kehangatan dan kekuatan bagi keduanya. Perjalanan mereka pun diiringi suara adzan yang berkumandang. Mega merah pun mulai menghilang. Namun, mega itu akan kembali lagi esok hari untuk memberikan harapan yang baru dan akan memberikan kekuatan dengan cahayanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar